Minggu, 20 Desember 2015

Puisi penyampai Rasa



Seandainya bumi berotasi terbalik pun, kekhawatiran akan titik akhir selalu jadi bayang hitam yang tak kunjung pamit.
Garis waktu tegas membatas kejadian-kejadian.
Hanya yang tinggal yang paham rasa nyaman,
hanya yang pergi yang paham lajur perjalanan.

Pertemuan demi pertemuan telah lama jadi sarana penanam perpisahan.
Hidup serupa pekarangan kering yang hanya bisa digemburkan air mata.
Duka luka membuka ruang bagi tanah, rahim bagi anak-anak kata.
Menunggu musim semi tiba
masa di mana masa lalu tumbuh jadi bunga-bunga
dan kerinduan pertemuan menguat sepanjang ranting.

jauh sebelum peradaban dalam kepala kita dimulai
setiap pukul setengah lima selalu ada benih-benih tersemai.
Mendahului matahari, mimpi-mimpi sudah terbit mengedar akar.
Mereka tata takdir sendiri
mereka terka yang bisa diterka
meski harus pasrah ke mana angin menjatuhkan daunnya.

Begitu rumit kenangan menyerabut teras rumah kita.
Aku pun tak tahu kapan perdu-perdu mengurai buah manis
pun tak paham bagaimana melati yang cantik dilibatkan jadi belasungkawa.

Paradoks, Sayang.
Kehilangan dan penerimaan selalu datang beriring.

Di luar itu semua,
cuaca sedang tak menentu
mendung di kepalamu
hujan di mataku
badai sampai ke relung.











from: RatuViha (Nay)